Di tahun 70an sampai kira-kira 2000an awal ada gejala “unik” di antara anak-anak ketika diberi tugas menggambar; mereka menggambar sawah dibelah oleh jalan memanjang menjauh dengan latar belakang dua gunung. Kadang beberapa dengan kreatifitas sekadarnya menambahkan sebatang-dua pohon kelapa dan seorang petani (atau nampak seperti petani). Kapankah kebiasaan yang ditularkan dari sekian generasi ini bermula? Sayang sampai saat ini belum ada yang mencoba mencari jawab. Bisa jadi hal itu dianggap sepele, karena mata pelajaran menggambar sebagai sesuatu yang tidak penting.
Saya mencoba menjawab–lebih tepatnya menduga–kenapa “visual sawah dan dua gunung” seperti sesuatu yang tertanamkan dibenak anak-anak dan kemudian secara otomatis digambar. Sebagai anak yang terpapar “estetika sawah dan gunung”, saya ingat betul bahwa ketika SD seorang guru (bukan guru gambar) mengajarkan–tepatnya mencontohkan–hal itu di papan tulis. Dan hampir semua generasi (kakak kelas dan adik kelas) mengalami pengajaran menggambar yang sama.
Tetapi saya kira keawaman mengajar menggambar dan keminiman referensi satu hal. Hal lain yang patut diduga, fenomena itu adalah jejak samar dari “Mooi Indie”, sebuah estetika selera kelas atas (terutama Eropa) di jaman kolonial (Hindia Belanda) yang begitu kuat mengkoloni kesadaran estetika para seniman bumi-putera, sekaligus para apresiator (termasuk Bung Karno) dan awam. Suatu selera, standar, acuan apa lukisan/gambar yang “bagus” itu. Misal sampai awal tahun 2000an kita masih menemukan lukisan berbau Mooi Indie (atau sampai sekarang?) lukisan pemandangan yang permai romantik persawahan dan gunung-gemunung di taman Suropati Jakarta dan Puncak Pas Bogor. Sekali lagi ini sekedar dugaan pribadi.
Sayangnya sewaktu kita masuk ke era “borderless”, saling terhubung, ada gejala penyeragaman visual baru di antara anak-anak yaitu kecenderungan estetika gambar dari komik/novel grafik dari Jepang: “Manga”. Setiap kursus, orang tua, anak-anak mempunyai selera baru dan dianggap keren walaupun seragam. Anak-anak era teknologi informasi ini berhasil lepas dari perangkap selera jaman baheula, tetapi terjerembab masuk ke lubang “pop culture” keJepang-Jepangan.
Di ulang tahun keempat YUN Artified, jika kita melihat dengan kaca mata objektif karya hasil peserta kursus, maka kita patut bersyukur–walaupun ada satu dua yang masih terpengaruh Manga Jepang (terutama di antara anak-anak dan “teenager”)–karya-karya kebanyakan sangat beragam penampilan visualnya. Keberagaman ini sesuatu yang menggembirakan sekaligus promosi bagus buat YUN Artified sewaktu di beberapa sekolah, pusat kursus terjebak di dalam penyeragaman.
Barangkali “nasihat terbaik” di ulang tahun keempat ini adalah: “Jangan berhenti menggambar, dan jadilah seniman/pelukis/perupa yang berkarakter”.
GH. Pekayon, 28 April 2023.
​