Secara umum, pameran memiliki banyak fungsi. Dalam perspektif tertentu ruang pamer menjadi sarana promosi bagi tuan rumah, peserta dan pengunjung. Ada yang menganggap sebagai sarana jual-beli karya maupun tawar-menawar ideologi pemikiran. Namun bagi perupa pemula atau amatir, lain lagi. Pameran menjadi tumpuan untuk meraih prestasi dan eksistensi lebih lanjut. Dengan menggelar sekian kali pameran, akhirnya perupa dapat “dilihat” dan terlihat keberadaannya. Karena itu ruang pamer bernilai sangat tinggi.

​

Fungsi lain ruang pamer adalah sebagai tempat bertukar pengalaman. Jika Anda mengajak putra-putri Anda ke pameran, tidaklah tepat dan bijak bila dikatakan Anda sedang mengarahkan padanya agar bercita-cita sebagai seniman, kan? Apalagi anak Anda masih belum dewasa. Justru fungsi terbaik yang harus ditanamkan pada putra-putri kita dalam ruang pamer adalah menyediakan ruang untuk menimba pengalaman orang lain, tanpa mengalaminya sendiri. Sebab setiap karya yang dipamerkan menyimpan sifat-sifat petualangan pemikiran, makna dan simbol untuk dipelajari oleh setiap apresiator.

​

Pameran yang memadukan antara karya murid, guru dan perupa profesional seperti yang Anda lihat ini contohnya. Banyak sekali tawaran petualangan pemikiran dan makna yang dapat ditelusuri. Jenis peserta yang “beragam” memberi kesan tersendiri. Ada yang tengah belajar dengan tujuan bermacam-macam. Ada yang ingin mengembangkan bakat dan hobi. Ada yang melakukan sejenis terapi diri. Sampai pada tujuan lain yang mungkin belum tampak atau terbaca dengan jelas.

​

Yun Artified: Community Art Centre sendiri merupakan salah satu komunitas seni dengan konsep yang unik. Lembaga non-profit ini memiliki tujuan edukatif dan berjejaring luas. Dengan mengambil lokasi di Pantai Indah Kapuk, Penjaringan Jakarta Utara, lembaga yang didirikan oleh Yince Djuwidja ini mengambil peran khusus untuk melakukan kegiatan seni rupa.

​

Di dalamnya pernah digelar pameran-pameran terkurasi (termasuk menyajikan para perupa-perupa penting dari Tiongkok dan Indonesia), workshop seni visual, art advisory, art storage consultation, art photography, on line database dan perpustakaan yang berkualitas. Kemitraan dengan para perupa dari negara lain juga telah terjalin. Termasuk turut serta mengelola pameran internasional, diantaranya pameran on line “The International Association of Universities and Collages of Art, Design and Media” pada 2019. Hal ini memberi tanda tersendiri bagi lembaga yang didirikan pada 2019 lalu.

​

Sebelum terjadi pandemi, lembaga yang memiliki gedung pameran yang berkualitas internasional ini juga sering mengadakan acara master class. Sejumlah perupa diundang untuk memberikan workshop dan ceramah khusus. Beberapa seniman Indonesia diantaranya adalah pelukis Katirin, Januri, Ismanto Wahyudi, dan Angga Yuniar dari Yogyakarta. Ada pula Joni Ramlan, perupa yang tinggal di Jawa Timur. Selain itu juga pernah mengundang perupa asal negara lain: Singapura, Australia dan Tiongkok. Sejumlah perupa yang diundang tentu memiliki prestasi luar biasa dalam perkembangan seni rupa dewasa ini.

​

Pameran kado ulang tahun kedua Yun Artified disajikan secara luring atau fisik dari tanggal 16 April – 16 Mei 2021. Di tengah pandemi seperti saat ini, panitia juga menggelarnya secara daring atau virtual melalui website www.yunartified.org/sabdaalam, pada tanggal 24 April 2021.

​

Sejumlah lukisan para murid yang bernaung di Yun Artified tercatat memiliki daya tarik luar biasa. Karya Vera Anastasia bertajuk Berdoa (2020), Sunwa berjudul Metropolitan illusion (2021), Jason Adrian Wu berjudul Weather of Erebor (2020), Oklee Valent Wu dengan judul Grinch Castle (2020), Elyza Davira Hung bertajuk Mouse, Deer in The Snowing Rain Forest (2020) serta beberapa lainnya menunjukkan kerja kreatif yang menonjol. Kemampuan menata komposisi, mengelola warna, dan memilih objek yang sesuai, memberi sensasi luar biasa. Apalagi jika dilihat dari usia mereka yang rata-rata masih belia. Diharapkan mereka terus berkarya untuk bisa mengisi ruang-ruang kreatif, baik di Indonesia maupun di ranah internasional.

​

Perihal keberadaan murid-muridnya, Yince menulis melalui whatsapp pada saya, “Saya tidak mencari quantity murid, tapi yang diutamakan quality dan memberi semangat ke murid-murid supaya senang melukis, terutama yang muda-muda atau anak-anak.” Kegiatan proses belajar melukis di lembaga ini telah dijalani sejak Juli 2020 sampai sekarang. Masa pandemi tidak menghalangi lembaga ini untuk bergerak. “Sempat berhenti sih, selama Maret hingga Juni 2020 karena aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dicanangkan oleh pemerintah,” ujar Yince.

​

Sementara itu sejumlah karya para pengajar juga tak kalah menarik. Lukisan Yosep Agustomo berjudul A Cross (2021) meyakinkan saya tentang kemampuan artistik yang kuat. Cukup sulit untuk melukis liukan tubuh perempuan atlit loncat tinggi dengan sudut pandang seperti itu. Anatomi yang sesuai dengan ekspresi wajah serta latar belakang abstrak memberikan sensasi dan daya tarik tersendiri. Salut.

​

Sedangkan karya Gus Her (Herman) yang bertajuk Gorologi (2021) memberi kesan tentang figur badut di tengah keramaian. Lukisan ini menukilkan keterampilan sang aktor dalam menjalani profesi dan digambarkan seperti manusia serba bisa. Perpaduan antara warna temaram dan warna panas menjadikan lukisan ini riuh dan simbolik. Adapun karya Dedy Suherdi bertajuk Blue in Light #1 (2021) mencatat suasana alam yang sunyi dan dingin. Suasana beku terasa sekali. Kemampuan menganasir cuaca dan iklim tampak kuat dan tajam dalam lukisan ini. tidak mudah menangkap rasa dingin dan beku dalam sebuah lukisan. Dedy tampak berhasil dalam karya ini.

​

Karya Yince Djuwidja sendiri tak kalah artistik. Berbekal kemampun teknik yang sangat kuat Yince menghadirkan 2 karya, yakni lukisan Rising Above The Sinful (2020) dan Lotus Pond Fairy Tale Overture (2021). Keduanya melukis tentang lotus yang tengah bermekaran. Meskipun keduanya memiliki objek yang sama, kenyataannya karya ini lebih menyimbolkan spirit hidup manusia. Suasana lotus yang tumbuh berjarak antar satu dengan lainnya mengundang tafsir tentang mereka yang tumbuh di lumpur yang kurang air. Lotus itu tetap tumbuh, indah tak terkontaminasi meskipun di tanah yang rentan, minim air. Lukisan ini mengingatkan kita agar terus hidup lebih baik, meskipun hambatan menghadang di depan kita.

​

Sedangkan karya Lotus Pond Fairy Tale Overture tampak lebih menganasir tentang suasana yang hikmat dan khusu’. Konsep tentang kebersamaan tergambar jelas. Lotus yang tumbuh berdekatan, sehat dan mengumandangkan dominasi warna dan nuansa hijau alamiah tampak mengukir aroma dan energi positif. Lotus dalam lukisan ini mengajak saya menjalani pengalaman tentang hidup bersama secara indah.

​

Di luar murid dan guru, sejumlah perupa profesional turut menjadi tamu dalam pameran ini. Karya-karya mereka turut dihadirkan sebagai bentuk dukungan moral, studi komparasi sekaligus sebagai asupan estetik bagi apresiator. Mereka adalah Bambang Pramudiyanto, Dedi Sufriadi, Edi Sunaryo, Erica, Hadi Soesanto Ipong Purnama Sidhi, Januri, Joni Ramlan, Melodia, Syahrizal Pahlevi dan Umar Chusaeni. Sejumlah 11 perupa undangan ini adalah perupa-perupa yang telah eksis. Beberapa diantaranya telah berpameran di sejumlah negara. Meskipun mereka kini tinggal di Yogyakarta, Magelang, Mojokerto dan Jakarta.

​

Karya mereka menyiratkan identitas masing-masing. Sebagai contoh karya Dedi Sufriadi bertajuk FLASH #1 (2021) yang kaya akan ide improvisasi goresan dan permainan komposisi. Dari karya ini, kita bisa belajar tentang teknik sekaligus impresi serta idiom objek yang dilukisnya. Kuas yang dilukisnya memberi pesan tentang “jalan pedang” yang dilalui oleh setiap pelukis: hidup penuh improvisasi, terjal sekaligus misterius.

​

Karya Hadi Soesanto bertajuk World Phenomenon (2020) mengajak kita untuk memperhatikan sisi kemanusiaan para pejuang kesehatan masa pandemi. Simbolisasi peta Indonesia yang tergambar sebagai ornamen teko blirik menandai ajakan agar Indonesia waspada. Dari lukisan Hadi Soesanto kita belajar tentang konsep simbolisasi yang diterapkan dalam lukisan.

​

Adapun dua karya Syahrizal Pahlevi, lebih khusus mengetengahkan pemandangan arsitektur budaya Yogyakarta. Kedua karyanya merupakan simbol keberadaan sumbu imajiner wilayah yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada saat mendirikan Kraton Yogyakarta. Dari karya ini kita belajar tentang keindahan ruang realitas yang dipindah ke kanvas dengan cara unik.

​

Itulah sejumlah hal yang sempat saya catat. Mungkin masih banyak yang belum terekam dan tertunaikan dalam artikel ini. Hal-hal penting lainnya mungkin dapat didiskusikan bersama dengan teman atau putra-putri Anda. Agar ide dan pengalaman para pelukis dalam ruang pamer menjadi lebih bermakna kehadirannya.

​

Dalam pameran ini terdapat 50-an pengalaman indah. Jumlah tersebut terhitung cukup bila dipakai sebagai sarana belajar mengalami atau mempelajari pengalaman orang lain. Suasana pandemi, krisis global, kecamuk politik, konflik kemanusiaan, baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri mungkin tidak atau belum berakhir. Namun, seni sejatinya mampu mendinginkan suasana. Saat ini kita sedang melihat, mendengar, dan menyaksikan “sabda alam” (realitas, kejadian, momentum) tentang dunia yang rentan. Para pelukis ini berhasil memperlihatkan itu semua secara indah. Jadi, tetaplah waspada, sebab alam tengah menguji kesabaran dan kekuatan kita.

 

 

Godean Yogyakarta, 1 April 2021

 

Mikke Susanto

Lecture & Indonesian Art Writer